“Cepat,
pindahkan batang kayu itu…!”, seru penjaga kepadaku. “Apa yang kau tunggu? Ayo cepat
pindahkan”. ”Apa kau mau disiksa seperti pemalas itu? ”. kata penjaga itu
melanjutkan sambil menunjuk kepada seorang paruh baya yang sedang dipukul
tongkat besi dengan hanya mengenakan sepotong celana pendek tahanan. Aku tak
sanggup melihat kakek tua tersebut. Dengan perasaan hati yang terasa sesak, aku
mengangkat batang kayu yang ditunjuk penjaga tersebut, sambil berlalu, berjalan
ke arah bagian konstruksi jembatan.
“Inilah
hukuman bagi mereka, bangsa yang kalah dalam berperang”. Kata seorang tahanan
lain yang berada didalam satu sel bersamaku. “Sang pemenang mendapatkan
segalanya, ”tidak hanya harta atau tanah tapi juga orang-orang dari bangsa yang
kalah, entah tua, muda, laki-laki atau perempuan, sang pemenang bisa melakukan
apa saja”, kata lelaki tua itu lagi dengan nada hampir menangis. “Kau bertanya
padaku tadi, kenapa kita bisa berada ditempat ini, dikurung saat malam hari,
dan dipaksa untuk bekerja pada siang harinya”. “ingatlah kata-kataku tadi
mengenai bangsa yang kalah berperang, itulah jawaban untukmu”. “Para pendahulu dari
bangsa kita kalah melawan persekutuan bangsa-bangsa lain yang menjadi musuhnya”.
“Dan karena kekalahan itulah, kita semua menjadi seperti ini, hanya bisa hidup
untuk menjadi seorang budak, tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan
kebebasan”. “Kau masih muda sekarang, belum terlalu lama untuk dapat merasakan
penderitaan ini, tapi bila kau sudah hidup selama diriku, mungkin saja kau
sudah menjadi gila”. “Bahkan berharap untuk mati”. Lelaki itu tidak melanjutkan
kata-katanya, dia hanya berusaha menenangkan dirinya yang masih menegang.
Kata-kata
lelaki tua tersebut, masih terngiang didalam pikiranku saat bekerja keesokan
harinya. Sang pemenang mendapatkan segalanya, dan yang kalah harus menuruti
keinginan pemenang. “Apakah harus sekejam itu, kehidupan yang kumiliki ini?”. Bekitulah
pikiran yang ada di otakku saat ini. “Aku bahkan tidak memiliki kesempatan
untuk menjadi seorang pemenang”. “entah sejak kapan aku menjalani kehidupan yang
menyiksa ini, mungkin sejak aku dilahirkan, entahlah, aku tidak ingat”. “bila
kau sudah hidup selama diriku, mungkin saja kau sudah menjadi gila”. “Bahkan
berharap untuk mati”. “mati”, “mati”, “mati, ya, itu mungkin memang pilihan
yang terbaik”. “Kakek tua yang disiksa kemarin, lelaki tua yang kuajak bicara
tadi malam, mereka tidak memiliki peluang untuk menjadi pemenang. Tidak ada
tahanan di tempat ini yang bisa menjadi pemenang. Bahkan beberapa yang berusaha
melarikan diri langsung akan dihukum mati dengan cara yang paling menyiksa
keesokan harinya. Aku terdiam. Pikiranku kosong untuk beberapa saat. lalu,
tanpa kusadari, pita suara yang kumiliki ini, bergetar dengan hebatnya. Pikiranku
kacau, dan tubuhku juga ikut bergetar. Aku berteriak, ya aku berteriak dengan
sangat keras untuk kali pertama dalam hidupku. Dengan pikiran kacau yang sedang
kualami saat ini, aku memegang dengan sangat erat kapak yang sedang kupegang. Lalu
kulihat seorang penjaga mendatangiku dengan sebuah tongkat besi di tangannya. “APA
YANG KAU LAKUKAN. APA KAU BENAR-BENAR INGIN DISIKSA KARENA TERIAKANMU YANG
MENGGANGGU ITU!!!”. Penjaga itu mengatakannya dengan nada marah. Aku melihat kepada
penjaga tersebut. Lalu dengan diawali oleh sebuah teriakan, panjang, aku
menyerang penjaga yang mendekat itu. “AAAAA….., AKU AKAN MENJADI PEMENANG”. Itulah
kata-kata yang kuteriakan sebelum akhirnya penjaga tersebut terkapar dengan
berlumuran darah.
Para
tahanan dan penjaga lainnya melihat kearah ku yang memegang kapak berlumuran
darah. Dan sebelum mereka benar-benar sadar apa yang sedang terjadi, aku sudah
menyerang penjaga lainnya yang terdekat. “AAAAA…”, aku terus berteriak sambil
menyerang semua penjaga tersebut. Sebelum pada akhirnya aku tidak sadar apa
yang terjadi. Yang dapat kulihat hanyalah gelap, namun aku masih bisa mendengar
satu kalimat terakhir sebelum aku benar-benar hilang kesadaran “Kau akan mati
dengan cara yang paling menyakitkan besok…”, ucap seseorang dengan suara geram.
“Hei
bangun, hei, hei”, aku mendengar kan suara seseorang. “HMMM…”, aku menjawab
dengan pelan. Saat aku membuka mataku, aku dapat melihat diriku dalam keadaan
terikat dengan hanya mengenakan celana pendek tahanan saja. Bersama denganku
ada seorang pemuda lain yang kuperkirakan seusia denganku. Dia juga dalam
keadaan yang sama denganku. “Kau tidak Apa-apa?” pemuda itu bertanya. “Sepertinya
tidak”, aku menjawab. “Dimana kita?”, aku bertanya. “Ruang kematian”, sahut
pemuda itu dengan cepat. “oh, aku mengerti. Kita akan mati besok, benar bukan?”
kataku. “Entahlah, kau belum membunuh siapapun, yah, walaupun penjaga yang kau
serang itu tidak dapat menggunakan salah satu tangannya lagi sekarang”. Dia melanjutkan.
“oh, sayang sekali, padahal aku berniat untuk menghabisi sebanyak-banyaknya
penjaga sebelum aku mati”. Aku menyahut. “jadi, kau memang berniat untuk mati. Kenapa kau bisa
mengharapkan hal itu?” dia bertanya. “Aku tidak bisa menjadi pemenang”, aku
menjawab, “bahkan aku tidak memiliki kesempatan untuk menjadi pemenang. Sebelum
aku mati, setidaknya aku ingin merasakan kemenangan dengan cara membunuh para
penjaga keparat itu. Namun ternyata itupun gagal. Aku benar-benar kecewa”. Jawabku
jujur. “Kau masih bisa menjadi pemenang, kau tahu?”, pemuda itu berkata
demikian. “bagaimana kau tahu?, dan hei, bagaimana kau bisa bersama denganku
disini, padahal hanya aku yang menggila siang tadi”. Aku berkata dengan
penasaran. “Kau ingin tahu?” pemuda itu menjawab. ”Tunggulah sebentar lagi.”.
aku terdiam, masih berusaha mencerna kata-kata pemuda itu barusan. Lalu, tiba-tiba
terdengar suara yang cukup keras dari seberang ruangan. Ruangan yang tadinya
cukup gelap ini, mendadak menjadi cukup terang dengan cahaya yang berasal dari
banyak obor yang mendekat. Kulihat ada sekitar 10 orang berjubah mendekati
kami. Merekapun membuka borgol kami dan memberikan kepada kami masing-masing
pakaian dan senjata yang menurutku cukup bagus. “Ayo, cepat kita keluar”,
pemuda itu berkata kepadaku.
Ketika
tiba diluar ruangan, kulihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tempat
ini seperti zona perang sekarang, atau aku harus bilang memang tempat ini
benar-benar telah berubah menjadi sebuah zona perang. Para penjaga keparat itu
kulihat dapat dipukul mundur oleh para pasukan berjubah dengan dibantu oleh
para tahanan yang lepas. “Kami adalah pasukan pemberontak. Bergabunglah bersama
kami dan jadilah seorang pemenang, kawan”. Pemuda itu berkata kepadaku sambil
tersenyum. “Ya”, aku menjawab. “Pasti”.-