Minggu, 06 Juli 2014

Mencari Kemenangan

“Cepat, pindahkan batang kayu itu…!”, seru penjaga kepadaku. “Apa yang kau tunggu? Ayo cepat pindahkan”. ”Apa kau mau disiksa seperti pemalas itu? ”. kata penjaga itu melanjutkan sambil menunjuk kepada seorang paruh baya yang sedang dipukul tongkat besi dengan hanya mengenakan sepotong celana pendek tahanan. Aku tak sanggup melihat kakek tua tersebut. Dengan perasaan hati yang terasa sesak, aku mengangkat batang kayu yang ditunjuk penjaga tersebut, sambil berlalu, berjalan ke arah bagian konstruksi jembatan.
“Inilah hukuman bagi mereka, bangsa yang kalah dalam berperang”. Kata seorang tahanan lain yang berada didalam satu sel bersamaku. “Sang pemenang mendapatkan segalanya, ”tidak hanya harta atau tanah tapi juga orang-orang dari bangsa yang kalah, entah tua, muda, laki-laki atau perempuan, sang pemenang bisa melakukan apa saja”, kata lelaki tua itu lagi dengan nada hampir menangis. “Kau bertanya padaku tadi, kenapa kita bisa berada ditempat ini, dikurung saat malam hari, dan dipaksa untuk bekerja pada siang harinya”. “ingatlah kata-kataku tadi mengenai bangsa yang kalah berperang, itulah jawaban untukmu”. “Para pendahulu dari bangsa kita kalah melawan persekutuan bangsa-bangsa lain yang menjadi musuhnya”. “Dan karena kekalahan itulah, kita semua menjadi seperti ini, hanya bisa hidup untuk menjadi seorang budak, tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan kebebasan”. “Kau masih muda sekarang, belum terlalu lama untuk dapat merasakan penderitaan ini, tapi bila kau sudah hidup selama diriku, mungkin saja kau sudah menjadi gila”. “Bahkan berharap untuk mati”. Lelaki itu tidak melanjutkan kata-katanya, dia hanya berusaha menenangkan dirinya yang masih menegang.
Kata-kata lelaki tua tersebut, masih terngiang didalam pikiranku saat bekerja keesokan harinya. Sang pemenang mendapatkan segalanya, dan yang kalah harus menuruti keinginan pemenang. “Apakah harus sekejam itu, kehidupan yang kumiliki ini?”. Bekitulah pikiran yang ada di otakku saat ini. “Aku bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pemenang”. “entah sejak kapan aku menjalani kehidupan yang menyiksa ini, mungkin sejak aku dilahirkan, entahlah, aku tidak ingat”. “bila kau sudah hidup selama diriku, mungkin saja kau sudah menjadi gila”. “Bahkan berharap untuk mati”. “mati”, “mati”, “mati, ya, itu mungkin memang pilihan yang terbaik”. “Kakek tua yang disiksa kemarin, lelaki tua yang kuajak bicara tadi malam, mereka tidak memiliki peluang untuk menjadi pemenang. Tidak ada tahanan di tempat ini yang bisa menjadi pemenang. Bahkan beberapa yang berusaha melarikan diri langsung akan dihukum mati dengan cara yang paling menyiksa keesokan harinya. Aku terdiam. Pikiranku kosong untuk beberapa saat. lalu, tanpa kusadari, pita suara yang kumiliki ini, bergetar dengan hebatnya. Pikiranku kacau, dan tubuhku juga ikut bergetar. Aku berteriak, ya aku berteriak dengan sangat keras untuk kali pertama dalam hidupku. Dengan pikiran kacau yang sedang kualami saat ini, aku memegang dengan sangat erat kapak yang sedang kupegang. Lalu kulihat seorang penjaga mendatangiku dengan sebuah tongkat besi di tangannya. “APA YANG KAU LAKUKAN. APA KAU BENAR-BENAR INGIN DISIKSA KARENA TERIAKANMU YANG MENGGANGGU ITU!!!”. Penjaga itu mengatakannya dengan nada marah. Aku melihat kepada penjaga tersebut. Lalu dengan diawali oleh sebuah teriakan, panjang, aku menyerang penjaga yang mendekat itu. “AAAAA….., AKU AKAN MENJADI PEMENANG”. Itulah kata-kata yang kuteriakan sebelum akhirnya penjaga tersebut terkapar dengan berlumuran darah.
Para tahanan dan penjaga lainnya melihat kearah ku yang memegang kapak berlumuran darah. Dan sebelum mereka benar-benar sadar apa yang sedang terjadi, aku sudah menyerang penjaga lainnya yang terdekat. “AAAAA…”, aku terus berteriak sambil menyerang semua penjaga tersebut. Sebelum pada akhirnya aku tidak sadar apa yang terjadi. Yang dapat kulihat hanyalah gelap, namun aku masih bisa mendengar satu kalimat terakhir sebelum aku benar-benar hilang kesadaran “Kau akan mati dengan cara yang paling menyakitkan besok…”, ucap seseorang dengan suara geram.
“Hei bangun, hei, hei”, aku mendengar kan suara seseorang. “HMMM…”, aku menjawab dengan pelan. Saat aku membuka mataku, aku dapat melihat diriku dalam keadaan terikat dengan hanya mengenakan celana pendek tahanan saja. Bersama denganku ada seorang pemuda lain yang kuperkirakan seusia denganku. Dia juga dalam keadaan yang sama denganku. “Kau tidak Apa-apa?” pemuda itu bertanya. “Sepertinya tidak”, aku menjawab. “Dimana kita?”, aku bertanya. “Ruang kematian”, sahut pemuda itu dengan cepat. “oh, aku mengerti. Kita akan mati besok, benar bukan?” kataku. “Entahlah, kau belum membunuh siapapun, yah, walaupun penjaga yang kau serang itu tidak dapat menggunakan salah satu tangannya lagi sekarang”. Dia melanjutkan. “oh, sayang sekali, padahal aku berniat untuk menghabisi sebanyak-banyaknya penjaga sebelum aku mati”. Aku menyahut. “jadi,  kau memang berniat untuk mati. Kenapa kau bisa mengharapkan hal itu?” dia bertanya. “Aku tidak bisa menjadi pemenang”, aku menjawab, “bahkan aku tidak memiliki kesempatan untuk menjadi pemenang. Sebelum aku mati, setidaknya aku ingin merasakan kemenangan dengan cara membunuh para penjaga keparat itu. Namun ternyata itupun gagal. Aku benar-benar kecewa”. Jawabku jujur. “Kau masih bisa menjadi pemenang, kau tahu?”, pemuda itu berkata demikian. “bagaimana kau tahu?, dan hei, bagaimana kau bisa bersama denganku disini, padahal hanya aku yang menggila siang tadi”. Aku berkata dengan penasaran. “Kau ingin tahu?” pemuda itu menjawab. ”Tunggulah sebentar lagi.”. aku terdiam, masih berusaha mencerna kata-kata pemuda itu barusan. Lalu, tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras dari seberang ruangan. Ruangan yang tadinya cukup gelap ini, mendadak menjadi cukup terang dengan cahaya yang berasal dari banyak obor yang mendekat. Kulihat ada sekitar 10 orang berjubah mendekati kami. Merekapun membuka borgol kami dan memberikan kepada kami masing-masing pakaian dan senjata yang menurutku cukup bagus. “Ayo, cepat kita keluar”, pemuda itu berkata kepadaku.
Ketika tiba diluar ruangan, kulihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tempat ini seperti zona perang sekarang, atau aku harus bilang memang tempat ini benar-benar telah berubah menjadi sebuah zona perang. Para penjaga keparat itu kulihat dapat dipukul mundur oleh para pasukan berjubah dengan dibantu oleh para tahanan yang lepas. “Kami adalah pasukan pemberontak. Bergabunglah bersama kami dan jadilah seorang pemenang, kawan”. Pemuda itu berkata kepadaku sambil tersenyum. “Ya”, aku menjawab. “Pasti”.-